.:: Selamat Datang di Situs Resmi UPZ DESA Kedungpuji ::. | .:: Satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS Kabupaten Kebumen dengan tugas mengumpulkan zakat untuk melayani muzakki yang berada di desa Kedungpuji - "Semoga Amanah"::.

Rabu, 02 Maret 2016

Zakat dan Upaya Mewujudkan Kenyamanan Sosial

Sekitar tiga puluh tahun yang lalu budayawan dan pejuang pers Mochtar Lubis mengingatkan, sebenarnya yang dibutuhkan rakyat sekarang adalah “kenyamanan sosial”, bukan hal-hal yang menimbulkan kecemburuan sosial. Menurut pejuang demokrasi dan bekas pemimpin surat kabar Indonesia Raya yang mendapat julukan “wartawan jihad” itu, bahwa kita amat banyak berbicara tentang keadilan sosial, tetapi kita belum tahu benar bagaimana keadilan sosial itu hendak kita capai.
Semua elemen kekuatan bangsa haruslah berupaya mengembalikan “kenyamanan sosial” atau istilah lain yang maknanya sama. Kehidupan masyarakat Indonesia harus diselamatkan dari ancaman kekacauan sistem sosial, kerusakan lingkungan alam, sosial dan budaya yang kian bertambah parah akibat keserakahan segelintir orang, serta gejala ambruknya pranata sosial bangsa.
Salah satu dimensi persoalan yang memerlukan perhatian dan penanganan serius ialah kemiskinan, ketidak-adilan dan ketimpangan sosial. Dalam suatu forum One Asia Assembly yang diselenggarakan oleh Press Foundation of Asia di New Delhi sekian tahun yang lampau, Gunnar Myrdal menyatakan bahwa growth (pertumbuhan) dan welfare (kesejahteraan) adalah dua sejoli yang harus dikembangkan secara simultan. Adalah tidak mungkin suatu ekonomi berkembang tanpa membagi kesejahteraan secara merata dan adil. Oleh karena itu koreksi strategi pembangunan yang diperlukan bagi Indonesia ialah mengubah sikap pikiran yang memisahkan perkembangan ekonomi dari keadilan sosial serta mengurangi ketergantungan kepada modal asing yang bisa mengancam kedaulatan negara.
Dalam buku Dasar-Dasar Ekonomi Islam (1979) H. Zainal Abidin Ahmad memaparkan peran zakat sebagai kewajiban asasi negara terkait dengan pendistribusian kekayaan di dalam masyarakat. “Negara dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa golongan yang mampu supaya memberikan iuran kemanusiaan yang dinamakan zakat untuk meringankan penderitaan hidup golongan yang tidak berkecukupan serta membantu kepentingan masyarakat dan negara.  Di samping zakat yang wajib, Islam memberi pula kekuasaan kepada negara untuk meletakkan kewajiban keuangan lainnya atas nama negara terhadap orang-orang yang mampu. Pedoman yang harus dipegang teguh oleh negara, ialah kemakmuran seluruh rakyat, menghilangkan batas-batas antara kaya dan miskin, proletar dan borjuis, buruh dan majikan.” tulis Z.A. Ahmad.
Secara prinsipil cita-cita bernegara dalam Islam mensyaratkan standar hidup yang layak bagi setiap warga negara. Dalam kaitan ini jaring pengaman sosial wajib difungsikan, dimana setiap orang harus memiliki kecukupan pangan, perlindungan kesehatan, dan pencegahan anak didik dari drop-out pendidikan.
Menurut Prof. Dr. Syaikh Mahmoud Syaltout dalam Fatwa-Fatwa Jilid 1 (1972), sesuai ayat Al Quran (QS At Taubah [9]: 60), zakat harus disalurkan kepada delapan asnaf yang secara garis besarnya meliputi dua sasaran, yaitu; Pertama, orang-orang yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya dan tidak dapat berusaha. Kedua, untuk kepentingan mendesak yang perlu dipenuhi demi tegaknya negara dan agama.
Pendistribusian zakat memang tidak akan menyesaikan masalah perekonomian nasional. Pemerintah-lah yang harus melahirkan kebijakan dan tindakan untuk menyelesaikan persoalan makro ekonomi dengan mengurai akar persoalannya. Patut diperhatikan ungkapan Francis Fukuyama, penulis buku State-Building: Governance and World Order in the 21st Century 2005) bahwa pengurangan peran negara dalam hal-hal yang memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Bukan saja memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial, tetapi dapat menyulut konflik sosial dan perang sipil yang meminta korban jutaan jiwa. Fukuyama mensinyalir kesejahteraan tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang kuat, yakni negara yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan warganya.
Peran zakat sebagai sektor sosial ekonomi Islam penting diartikulasikan sebagai solusi untuk mewujudkan keamanan hidup perorangan dan tercapainya kenyamanan sosial dalam batas yang wajar. Dalam Islam, setiap orang harus dapat menikmati hidup secara layak sebagai manusia. Dalam standar minimal, setiap orang harus terpenuhi kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan memperoleh pekerjaan. Siapapun tidak boleh dibiarkan, walau pun non-muslim, hidup menggelandang tanpa tempat tinggal, atau kehilangan kesempatan untuk membina keluarga.  
Peruntukan zakat berdasarkan petunjuk Al Quran dan Sunnah Nabi, secara eksplisit mengarah pada perlindungan keamanan individu dan masyarakat sesuai maqasyid syariah. Masyarakat secara keseluruhan akan memperoleh rasa aman dan makmur sebagai dampak positif redistribusi kekayaan secara adil melalui zakat, infak dan sedekah. Hadis yang sering dikutip oleh para juru dakwah ketika menguraikan komitmen Islam pada keadilan sosial ialah, “Sesungguhnya Allah mewajibkan atas orang-orang kaya muslim mengeluarkan hartanya seukuran yang dapat memberikan keluasan hidup bagi orang miskin. Dan kesengsaraan orang miskin adalah akibat perilaku orang kaya. Ketahuilah, sungguh Allah akan meminta pertanggung-jawaban orang-orang kaya macam itu dengan pengadilan yang berat dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.”  (HR Thabrani).
Sampai saat ini kita belum berhasil sepenuhnya merealisasikan ajaran Islam maupun cita-cita bernegara tentang keamanan hidup manusia dan kenyamanan sosial secara baik. Hal itu terbukti dari tingginya angka kemiskinan, malnutrisi (gizi buruk),  kerentanan masyarakat terhadap dampak krisis keuangan global dan melambungnya harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi paling aktual yang sangat mengganggu kenyamanan sosial di Sumatera dan Kalimantan, yang diperkirakan sampai ke pulau Jawa jika tidak segera diambil tindakan pemadaman titik api pembakaran hutan oleh pengusaha perkebunan, yaitu bencana kabut asap. Kabut asap bukan murni bencana alam, tapi hasil perbuatan tangan manusia dan kesengajaan.
Pemerintah sejak beberapa dekade telah menggariskan program perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan, namun masih banyak warga miskin dan kelompok rentan miskin yang belum tersentuh. Indonesia bukan negara miskin karena banyak warganya yang kaya dan konglomerat, tapi juga bukan negara kaya selama kemiskinan masih merajalela. Kalau menurut  istilah yang digunakan para founding fathers negara kita Indonesia saat ini belum mencapai kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam pada itu, sejalan dengan prinsip negara kesejahteraan (welfare state) yang dicita-citakan dalam Pancasila, maka fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya untuk rakyat miskin tidak boleh menciptakan kasta-kasta di dalam masyarakat. Sementara itu patut digaris-bawahi tugas dan kewajiban negara dalam penanganan fakir miskin cukup tertolong oleh peran lembaga zakat. Selain menunjang program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah, peran zakat sekaligus  mengisi dan melengkapinya dengan fokus penanganan yang spesifik, sesuai dengan esensi dan tujuan zakat.
Wallahu a’lam bisshawab
Oleh M. Fuad Nasar
Konsultan The Fatwa Center Jakarta,
Komunitas BAZNAS

0 komentar:

Posting Komentar