.:: Selamat Datang di Situs Resmi UPZ DESA Kedungpuji ::. | .:: Satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS Kabupaten Kebumen dengan tugas mengumpulkan zakat untuk melayani muzakki yang berada di desa Kedungpuji - "Semoga Amanah"::.

Rabu, 02 Maret 2016

Sekali Lagi Zakat dan Pajak

Dalam beberapa forum yang saya hadiri dan berdialog dengan audiens, masih kerap muncul pertanyaan seputar zakat dan pajak. Seseorang yang telah membayar zakat kepada BAZNAS sebagai lembaga yang dibentuk oleh pemerintah masih dibebani kewajiban ganda yakni membayar pajak atas penghasilannya, atau sebaliknya seseorang yang telah membayar pajak kepada negara dengan nilai nominal yang lebih tinggi daripada zakat, masihkah wajib mengeluarkan zakat atas objek harta dan penghasilan yang sama?
Dalam sejarah Islam dikenal dua pranata atau institusi yang menjadi pilar kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran negara, yaitu zakat dan pajak karena sifatnya adalah wajib. Pada prinsipnya zakat dan pajak adalah dua kewajiban yang mempunyai dasar hukum berlainan. Zakat berdasar pada ketentuan syariat atau hukum Allah SWT baik dalam pemungutan dan penggunaannya, sedang pajak berpijak pada peraturan perundang-undangan negara yang ditentukan oleh Ulil Amri/pemerintah menyangkut  pemungutan maupun penggunaannya.
Seperti halnya zakat yang merupakan rukun Islam, umat Islam sejak abad pertama hijriah telah mengenal pajak dengan sebutankharaj (pajak hasil bumi/tanaman), sedang pajak dalam pengertian umum disebut dharibah (Inggris: tax). Dalam tradisi Islam pajak terdiri atas Kharaj (pajak bumi/tanaman), Usyur (pajak perdagangan/bea cukai), dan Jizyah (pajak jiwa terhadap non-muslim yang hidup di dalam naungan negara/pemerintahan Islam). Dengan demikian, jika ada pendapat yang menyatakan bahwa pajak tidak ada dalam Islam, pendapat semacam itu memiliki landasan yang lemah.
Hubungan zakat dan pajak dalam Islam telah dibahas dalam Seminar Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1990. Pada waktu itu menampilkan makalah Prof. KH Ibrahim Hosen, LML (Ketua MUI/Ketua Komisi Fatwa MUI).
Menurut almarhum Ibrahim Hosen yang menamatkan pendidikan pada Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Cairo – Mesir itu:“Islam begitu hadir, di tengah-tengah masyarakat telah hidup bermacam-macam aturan, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Dalam menghadapi masalah ini ada tiga macam sikap Islam; (a) Hal-hal yang bertentangan dengan Islam ditolak secara tegas. (b) Hal-hal yang bertentangan akan tetapi sudah membudaya dan mengakar di masyarakat ditolak dengan cara bijaksana, yaitu dibenarkan untuk sementara, tetapi dicarikan jalan penyelesaian dan pemecahan untuk menuju kepada penghapusan sama sekali. (c) Yang tidak berlawanan dengan Islam diteruskan, dilestarikan dan disempurnakan. Contohnya seperti Pajak.
Ibrahim Hosen menjelaskan, “Pajak adalah aturan atau sistem yang dapat dibenarkan oleh Islam. Jauh sebelum Islam datang, sistem perpajakan telah lama dikenal oleh sejarah umat manusia. Setelah Islam datang, sistem pajak yang ternyata banyak manfaat dan maslahatnya ini eksistensinya diakui, dibenarkan dan disempurnakan. Tidak dapat dijadikan dalil bahwa apabila zakat telah dibayar maka kewajiban pajak gugur, atau sebaliknya bila pajak telah dibayar maka zakat menjadi gugur. Warga negara Indonesia yang beragama Islam berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai realisasi pelaksanaan perintah agama dan berkewajiban pula membayar pajak sebagai realisasi ketaatan kepada Ulil Amri/pemerintah yang juga diwajibkan oleh agama. Islam memberi wewenang kepada Ulil Amri/pemerintah untuk mengelola zakat dan pajak.”  (Mimbar Ulamaedisi no 150, Zulhijjah 1409 H – Juli 1990)
Setahu saya pada semua negara muslim dewasa ini hubungan antara zakat dan pajak sudah tidak menjadi problem, baik dalam ranah hukum maupun penerapannya di masyarakat. Dewan Penelitian Keislaman (Islamic Research Assembly) Universitas Al-Azhar Cairo – Mesir mengeluarkan fatwa bahwa pajak untuk kepentingan negara tidak dapat menggantikan pembayaran zakatyang wajib hukumnya dalam Islam.
Negara lainnya yaitu Kuwait. Pemerintah Kuwait tidak mengenakan pajak kepada warga negaranya karena anggaran pendapat dan belanja negara dengan hasil penjualan minyak sudah sangat surplus. Dalam pelaksanaan zakat, banyak warga Kuwait yang membayar zakat secara individual kepada orang yang mereka kehendaki sesuai ketentuan agama. Namun para ulama setempat tetap membedakan antara kewajiban zakat dan pajak. Pemerintah Saudi Arabia juga tidak mencampur-adukkan zakat dan pajak dalam kebijakan fiskalnya, meski kedua sektor ini ditangani melalui satu institusi di bawah Kementerian Keuangan.
Dalam kaitan ini menarik disimak Dr. Syauqi Ismail Sahata dalam buku Penerapan Zakat dalam Dunia Modern membahas boleh tidaknya memungut pajak di samping zakat. Ia menunjuk pendapat Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah yang menyanggah pendapat sebagian ulama bahwa pajak-pajak yang berlaku di negara-negara Islam adalah berfungsi sebagai zakat. Pendapat demikian menurutnya tidak sesuai dengan tujuan hakiki disyariatkannya zakat dalam Islam. Kewajiban zakat adalah untuk menanggulangi kemiskinan, membantu orang-orang fakir dan memenuhi kebutuhan kaum melarat, dan juga untuk membiayai kelancaran dakwah Islam, dimana hal itu tidak termasuk bidang-bidang yang dibiayai dengan pajak. Sekalipun ada sedikit pembelanjaan pajak untuk kaum dhuafa, tetapi sifatnya sekunder dan bukan tujuan utama. Singkatnya, pemungutan pajak di samping zakat adalah boleh, sesuai dengan prinsip al-mashalihul mursalah.
Belakangan ada ide memperjuangkan zakat sebagai pengurang pajak (tax credit). Untuk itu diperlukan pematangan konsep dan restorasi kebijakan untuk dapat merealisasikannya. Kalau pun sekarang belum bisa diwujudkan, siapa tahu suatu saat nanti menjadi kenyataan. Tapi ide yang sulit dilaksanakan adalah menyamakan zakat dengan pajak atau membayar pajak dengan niat menunaikan zakat.
Oleh M. Fuad Nasar
Konsultan The Fatwa Center Jakarta,
Komunitas BAZNAS

0 komentar:

Posting Komentar